Kamis, 21 Juli 2011

Kristina Martha Tiahahu

Si Wanita Pemberani Dari Maluku

Kristina Martha Tiahahu adalah lambang perlawanan kaum perempuan Maluku dan juga Indonesia terhadap kesewenang-wenangan penjajah. Khristina Martha Tiahahu, yang dilahirkan sekitar tahun 1800 di Pulau Nusa Laut, Kepulauan Maluku, adalah anak sulung dari Paulus Tiahahu, yang waktu itu menjadi raja di Negeri Abubu, Pulau Nusa Laut (Nusahalawano). Paulus Tiahahu sendiri adalah mitra Kapitan Pattimura (Thomas Mattulesia) dalam berjuang melawan kolonialis Belanda.

Pulau Nusa Laut atau Pulau Emas merupakan satu pulau dalam deretan pulau-pulau di sebelah selatan Pulau Seram. Letaknya persis sebelah timur pulau Saparua. Pulau Nusa Laut disebut pula Pulau Emas bukan karena menghasilkan emas namun karena menghasilkan cengkih yang membuat orang kaya.

Meskipun rakyat Pulau Nusa Laut termasuk rakyat yang lebih tenang daripada rakyat di Saparua waktu itu, namun mereka tidak bisa membiarkan penindasan Belanda berlangsung.

Nusa Laut yang waktu itu terdiri dari tujuh negeri juga ikut berjuang. Apalagi setelah Anthone Rhebok -pembantu Kapitan Pattimura yang ditugaskan menggalang perjuangan di Nusa Laut- mengangkat Paulus Tiahahu sebagai Kapitan (komandan/panglima perang) yang memimpin perjuangan rakyat di sana.

Paulus Tiahahu, sesungguhnya telah menarik diri dari pemerintahan dan diganti oleh Patih Manusama. Tetapi pengaruh Paulus Tiahahu, yang memang besar di kalangan rakyat, menyebabkan dia dipilih oleh Pattimura sebagai Kapitan atas seluruh pasukan perjuangan rakyat di Pulau Nusa Laut.

Mungkin karena sudah tua dan perlu pendamping dalam berjuang, Paulus perlu didampingi oleh stafnya. Dalam kaitan inilah Kristina Martha, anaknya sendiri yang saat itu masih 17 tahun, selalu mendampinginya. Dengan gagahnya gadis belia ini sering terlihat menyandang senapan mengikuti ayahnya.

Sebelum membaca kisah Kristina lebih jauh, rasanya perlu pula terlebih dulu mengetahui kronologis perjuangan rakyat Maluku yang melatarbelakangi perjuangan Kristina.

Seperti diketahui VOC, yang telah mengangkangi kepulauan Nusantara selama hampir 200 tahun sejak awal abad 17, terpaksa harus membubarkan dirinya pada akhir abad 18 karena bangkrut. Kekuasaan mereka lantas diambiloper oleh pemerintah Belanda. Namun hal ini tidak berlangsung lama karena Belanda kemudian diduduki oleh Perancis yang saat itu dipimpin Napoleon Bonaparte. Raja Belanda, Willem V, melarikan diri ke Inggris dan di situ ia mengeluarkan instruksi agar semua wilayah Belanda di Afrika dan Asia diserahkan kepada Inggris.

Dengan dasar instruksi itu terjadilah pergantian pemerintahan di Maluku. Sejak tahun 1796 sampai 1803, Maluku berada dalam genggaman Inggris. Pada tahun 1803 Maluku sempat diserahkan kembali oleh Inggris kepada Belanda namun tujuh tahun kemudian, tepatnya sejak 19 Februari 1810, Inggris kembali memerintah Maluku.

Pada saat Inggris menjajah Maluku, banyak pemuda Maluku direkrut untuk dijadikan tentara. Para pemuda yang terpilih tersebut terkenal dengan sebutan Korps Limaratus. Mereka yang terlatih itu sangat populer di kalangan rakyat karena kegagahan, keterampilan bertempur dan kedisiplinannya.

Pada tahun 1815 pasukan Napoleon Bonaparte dari Perancis berhasil dikalahkan Inggris di Waterloo Belgia. Berdasarkan perjanjian yang dinamakan Traktat London, Inggris harus menyerahkan kembali semua wilayah yang didudukinya kepada Belanda, termasuk yang berada di Maluku. Karena jarak yang jauh antara Eropa dengan Maluku maka baru pada tanggal 25 Maret 1817 Inggris – di Ambon - menyerahkan Maluku kepada Belanda.

Akibat dari penyerahan kembali itu, terjadilah banyak pengangguran sebab para pemuda Maluku yang sebelumnya tergabung dalam Korps Limaratus menolak masuk dinas ketenteraan Belanda. Mereka dibebaskan dengan diberi pesangon oleh Inggris.

Kriminalitas meningkat karena pengangguran tersebut dan Pemerintah baru Belanda di Ambon menjadi pusing. Untuk mengatasi gangguan keamanan, Residen Belanda di Hila, Pulau Ambon, mengeluarkan pengumuman bahwa dalam jangka waktu 3 bulan semua mantan prajurit Inggris, para penganggur dan orang asing tanpa pekerjaan atau tanpa surat-surat keterangan dari kepala negeri harus mencari pekerjaan di kota Ambon atau masuk tentara Belanda atau pulang ke negeri masing-masing. Jika tidak mereka akan ditangkap dan diangkut ke Banda (Ke Banda berarti kerja paksa di kebun pala milik swasta). Karena ancaman itulah banyak pemuda Maluku mantan Korps Limaratus keluar dari kota Ambon mengungsi ke Pulau Saparua.

Masih banyak tindakan pemerintahan Belanda yang bersifat kontroversial jika dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya (Pemerintah Inggris). Rakyat yang merasa bebas selama pemerintahan Inggris menjadi terkungkung. Karena itulah di mana-mana timbul aksi penolakan dan perlawanan. Tanggal 4 April 1817 sekitar 80 orang laki-laki jazirah Hitu mengadakan rapat rahasia selama 4 hari dan tanggal 9 April mereka bersepakat untuk melawan Belanda. Selesai rapat tersebut para utusan dikirim ke negeri-negeri di Jazirah Hitu dan Pulau Haruku.

Akhir April 1817 suasana negeri-negeri di Pulau Saparua dan Pulau Nusalaut menjadi tegang karena ada berita bahwa kaum lelaki akan dipaksa memasuki tentera Belanda dan akan diangkut ke Jawa. Dalam suasana itu maka tanggal 2 Mei 1817, banyak laki-laki berkumpul di rumah Thomas Matulessia untuk membicarakan langkah-langkah perlawanan rakyat. Sejak itulah konsolidasi rakyat terus berlangsung untuk melawan Belanda.

Di mana-mana rakyat bergerak. Tanggal 16 Mei 1817, benteng Duurstede di Saparua direbut pasukan rakyat. Sebelum serangan dilakukan, pasukan memilih Thomas Matulessia sebagai panglima atas seluruh pasukan. Ia bergelar Kapitan Pattimura. Demikian pula Benteng Beverwijk yang terletak di Negeri Sila dan Leinitu di Pulau Nusa Laut direbut rakyat. Pasukan Belanda di sana yang jumlahnya hanya beberapa orang tewas dalam perebutan itu.

Belanda lalu menyusun siasat. Tanggal 20 Mei 1817 pasukan Belanda melakukan pendaratan di pantai Waisisil, Pulau Saparua. Mereka berhasil dihalau oleh rakyat dengan korban yang besar di pihak Belanda.

Menghadapi kemungkinan serbuan lebih lanjut dari Belanda, rakyat Maluku merasa perlu meningkatkan konsolidasi. Tanggal 29 Mei 1817 rakyat mengumumkan pernyataan mereka dalam apa yang disebut proklamasi Haria. Dalam pernyataan itu tercantum 14 macam keberatan rakyat terhadap Belanda. Pada hari itu pula Patimura diangkat sebagai kapitan panglima perang. Ada 21 penandatangan proklamasi, yaitu para raja dan patih dari negeri-negeri di Seram, Ambon, Haruku, Saparua, Nusalaut, dll.

Kekompakan rakyat sebagai hasil pertemuan di Haria terwujud. Tanggal 30 Mei 1817, Benteng Zeelandia di Pulau Haruku diserbu rakyat (1000 orang dari Seram, 500 orang dari Haruku dan 500 orang dari Saparua. 700 orang di antara mereka bersenjata bedil). Rupanya pertahanan Belanda terlalu kuat sehingga serbuan tersebut tidak berhasil. Kemudian tanggal 9 Juni dan 14 Juni 1817 pasukan rakyat kembali melakukan serangan terhadap Benteng Zeelandia di Haruku namun kedua serangan itu dapat dihalau Belanda

Antara tanggal 14-17 Juni 1817, Raja Negeri Haruku berhasil digunakan Belanda untuk membujuk rakyat. Raja tersebut, sewaktu mencoba membujuk raja Negeri Oma (di Haruku), dibunuh oleh rakyat. Karena itulah Belanda lalu menghancurkan Negeri Oma. Tanggal 18 Juni 1817, Raja Negeri Oma mengungsi lalu bergabung dengan pasukan Pattimura.

Karena Negeri Oma dihancurkan Belanda sementara dirasakan susah untuk mengusir Belanda dari Pulau Haruku, maka Pattimura memutuskan bahwa pertahanan rakyat dikonsentrasikan di Pulau Saparua. Kubu-kubu pertahanan dengan cepat segera dibangun di setiap negeri. Kubu-kubu itu terbuat dari batu karang, pasir dan tanah dengan tinggi sekitar 6 kaki dan tebal 4 kaki yang sulit ditembus dengan peluru meriam 48 pon.

Selama rakyat memperkuat pertahanan itulah, Belanda berusaha untuk mencari solusi damai. Perundingan demi perundingan dilakukan terus namun sampai tanggal 19 Juli 1817 kedua pihak tidak menemukan solusi.

Sementara itu semangat perjuangan rakyat Nusalaut yang membara itu ternyata dikhianati oleh Patih Akoon, kepala sebuah negeri di pulau Nusalaut Pada tanggal 26 Juli 1817, komandan Belanda Groot memerintahkan anak buahnya untuk berpatroli dengan kapal perang Iris di perairan Nusalaut. Ketika kapal tersebut mendekat terlihat sebuah perahu dengan bendera Belanda datang menghampiri. Setelah kapal merapat naiklah Patih Akoon dan Dominggus Tuwanakotta ke kapal Iris. Rupanya patih tersebut membawa berita tentang pertahanan rakyat di pulau Nusalaut. Ia pun berbohong dengan menceritakan bahwa sesungguhnya rakyat mendukungnya[1].

Tanggal 21 Juli 1817 berlangsung pertempuran di Hatawano, Pulau Saparua, yang dipimpin Pattimura. Sementara orang-orang Kelmuri dan Seram datang memasuki Teluk Haria di Saparua dengan membawa dua arombai yang bermuatan mesiu.

Tanggal 26 Juli pendaratan Belanda dihentikan demikian pula penembakan dengan meriam. Rupanya Belanda sedang mengatur siasat baru.

Tanggal 27 Juli 1817 orang-orang Seram Selor datang ke Pulau Saparua dengan arombai yang dipenuhi mesiu untuk ditukar dengan cengkih milik rakyat.

Tanggal 3 Agustus 1817, Benteng Duurstede di Pulau Saparua direbut kembali oleh Belanda. Pattimura dan pasukannya sengaja melepaskan benteng tersebut karena meriam-meriam yang ada di benteng tidak dapat digunakan dan dengan demikian pasukan yang ada di dalam benteng akan menjadi bulan-bulanan tembakan meriam kapal Belanda yang berada di laut.

Namun perhitungan Pattimura keliru karena begitu benteng direbut Belanda akan susah direbut lagi oleh rakyat dengan persenjataan yang sangat minimal. Memang benar, sebab begitu Belanda merebut benteng, dengan segera meriam-meriam dipasang oleh Belanda. Dengan mesiu yang cukup banyak Belanda lalu menembaki pertahanan rakyat yang berada di sekeliling benteng.

Bulan September 1817 pasukan Belanda bantuan dari Ambon mengalir ke Saparua. Tembak menembak terus terjadi namun Belanda tidak bisa diusir dari Benteng. Belanda mengeluarkan janji akan memberi hadiah 1000 gulden bagi yang bisa menyerakan Pattimura kepada Belanda dan 500 gulden bagi penyerahan pembantu-pembantu Pattimura. Pada bulan September 1817 itu pula rakyat sedang asyik membangun benteng-benteng pertahanan di seluruh pulau untuk menghambat pasukan Belanda. Pasukan-pasukan rakyat dari berbagai negeri dan pulau dikerahkan ke Saparua, termasuk Paulus Tiahahu dan puterinya juga memperkuat pertahanan rakyat Saparua[2].

Tanggal 15-16 Oktober jazirah Hitu di Pulau Ambon sebelah barat diserbu Belanda. Pasukan rakyat dikonsentrasikan untuk menguasai dan mempertahankan Pulau Haruku. Sampai 30 Oktober benteng Zeelandia di Pulau Haruku dikepung rakyat tanpa mampu merebutnya karena dipertahankan dengan kuat oleh Belanda.

5 November 1817 seluruh Pulau Haruku berhasil dikuasai Belanda. Banyak negeri hangus dibakar sehingga rata dengan tanah

7 November 1817 kapal Reygersbergen dan 8 buah kora-kora Ternate dan Tidore memasuki Teluk Haria dan Porto. Tanggal 8 November pendaratan dilakukan oleh Belanda. Belanda berhasil mendarat setelah mati-matian dilawan oleh Pattimura dan pasukannya.

Tanggal 9 November 1817 Benteng darurat Pattimura di Negeri Tiow, Pulau Saparua, dikepung pasukan Belanda dari arah darat dan lautan. Karena tidak kuat maka Pattimura dan stafnya tercerai berai dari anak buahnya lalu mundur ke pegunungan.

Pada tanggal 11 November 1817 Negeri Ulat dan Negeri Ouw (di Pulau Saparua) diserbu Belanda. Di sana Belanda disambut pasukan rakyat yang dipimpin Kapitan Lusikoy, Kapitan Titaley, Kapitan Said Perintah dan Kapitan Paulus Tiahahu yang disertai anaknya perempuan, Kristina. Sorak sorai pasukan yang bercakalele, teriakan perang yang membahana. Di tengah perang itu muncul gadis maja yang juga bercakelele. Rambut panjangterurai ke belakang berikat kepala sehelai kain merah mendampingi ayahnya dan memberi semangat kepada pasukan dari Nusa Laut

Tanggal 11 November 1817 itu pula di malam hari, Pattimura tertangkap di hutan Booi di Haria (Saparua) ketika sedang istirahat. Penangkapan terjadi karena Raja Booi – orang yang pernah dipecat Pattimura- melaporkan tempat persembunyian tersebut.

Tanggal 12 November 1817, pasukan rakyat yang kehabisan peluru diserbu Belanda. Kapitan Said Perintah, Kapitan Hehanusa, Raja Ulat dan Raja Ouw, Kapitan Paulus Tiahahu dan Kristina Martha tertangkap Belanda. Para tawanan itu lalu dikumpulkan di kapal Evertsen. Kristina – dengan mengorbankan harga dirinya - sempat meminta ampun atas ayahnya kepada Belanda. Beberapa hari kemudian Paulus dan Kristina diangkut ke Pulau Nusalaut. Mereka kemudian ditahan di Benteng Beverwijk.

Tanggal 17 November 1817, Paulus Tiahahu dihukum mati dengan kelewang dan peluru. Hukuman tersebut dilaksanakan di depan rakyatnya sendiri. Jenazahnya lalu dibawa rakyat dan dimakamkan dengan upacara adat. Sementara itu Kristina diserahkan kepada guru Soselisa untuk dipelihara.

Sebulan kemudian, tanggal 16 Desember 1817, Philip Latumahina, Anthone Rhebok, Said Perintah dan Pattimura dihukum gantung di Ambon.

Itulah sekelumit kisah perjuangan rakyat Maluku di mana Kristina terlibat di dalamnya. Ayahnya dihukum mati dengan cara yang mengenaskan. Lantas bagaimana nasib Kristina selanjutnya ?

Sejak kematian ayahnya Kristina tak tinggal diam dan terus berjuang secara diam-diam. Namun sayang, usaha tersebut berhasil diketahui oleh Belanda, sehingga Khristina Martha Tiahahu ditangkap bersama 39 orang lainnya. Ia kemudian diangkut ke pulau Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi di Jawa Barat atau Jawa Timur.

Dalam perjalanan ke pulau Jawa bersama 38 orang tawanan lainnya, diatas kapal Evertsen, Martha tidak mau bicara, makan maupun minum. Sejak saat itu kondisi tubuhnya semakin melemah dan akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818 ia menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazahnya dikuburkan di laut antara Pulau Nuru dan Pulau Tiga.

Walaupun Paulus Tiahahu dan puterinya sudah meninggal namun perlawanan rakyat di Pulau Nusalaut masih berlangsung. Pertengahan Januari 1818 satu detasemen tentara Belanda melakukan pembersihan dan menangkapi banyak pejuang. Mereka yang kemudian ditangkap dan dihukum mati di antaranya adalah : Jakobus Pattiwael (patih Negeri Tiow), Kapitan Ulupaha (dari Negeri Seit/Pulau Ambon), Kapitan Lukas Lisapaly /Aron (dari Negeri Ihamahu), Kapitan Lukas Selano (dari Negri Nolot), dll.

Dari peristiwa ini akhirnya dapat dipetik pelajaran yang di antaranya adalah sebagai berikut :

· Kristina setia mendampingi ayahnya yang renta tetapi masih tinggi semangat juangnya.

· Walaupun telah bersumpah bahwa ia pantang menyerah kepada kolonialis, namun Kristina masih berupaya meminta ampun bagi ayahnya yang akhirnya dihukum mati itu

· Dalam kondisi kesedihan yang luar biasa karena ayahnya telah wafat, Kristina akhirnya harus menjalani hukuman buang ke Jawa. Namun rupanya ia benar-benar telah bertekad untuk mati dengan tidak mau makan, minum dan bicara. Keseluruhan itulah yang kemudian menyebabkan Pahlawan Nasional ini meninggal di usian yang masih sangat muda, 17 tahun.

Sumber :

· Nanulaita, 1985. Kapitan Pattimura. Depdikbud Jakarta

· www.indosiar.com, 2004.



[1] Beberapa hari kemudian Patih Akoon diantar kapal The Dispatch kembali ke negerinya. Dengan sekoci ia kemudian diantar ke darat. Namun belum menginjak pantai ia segera dikejar rakyatnya. Patih Akoon segera melarikan diri ke kapal lagi. Beberapa hari kemudian anak laki-laki Dominggus yang bernama Julianus Tuwanakotta dibunuh. Sedangkan anak perempuannya dibikin cemar oleh rakyat.

[2] 10 Oktober 1817 Benteng Beverwijk di Pulau Nusalaut direbut Belanda tanpa diketahui oleh Pattimura. Saat itu pasukan rakyat Nusalaut sedang berjuang di Pulau Saparua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar