Minggu, 10 Juli 2011

Ratu Blitar

Cinta Ataukah Nafsu?

Selama figur yang disebut sebagai Amangkurat I masih hidup, memang banyak sekali terjadi skandal cinta. Baik saat ia masih belum menjadi raja Mataram maupun setelahnya. Pada saat Amangkurat I masih menjadi raja, anaknya pun – dalam hal ini figur Amangkurat II - juga sempat diliputi berbagai skandal. Salah satunya adalah skandal Ratu Blitar.

Alkisah, Pangeran Singasari (Raden Aria Tiron), adik Putera Mahkota Mataram yang kelak menjadi Amngkurat II, mempunyai isteri bernama Ratu Blitar yang dikabarkan cantik. Tentang asal-usulnya, tidak ada berita yang jelas.

Putera Mahkota Mataram diberitakan bermain serong dengan Ratu Blitar. Namun Ratu Blitar pun diberitakan juga mempunyai kekasih lain yang bernama Raden Dobras, putera Pangeran Pekik.

Suatu saat perbuatan serong Ratu Blitar dengan Raden Dobras tersebut diketahui oleh Putera Mahkota yang lalu memberitahukannya kepada Pangeran Singasari. Mendengar berita ini, Pangeran Singasari menjadi sangat marah. Raden Dobras ditangkap, dibawa ke gunung dan dibunuh. Mayatnya dimasukkan ke sumur dan setelah ditimbun lalu ditanami pisang. Keesokan harinya Pangeran Pekik – ayah Raden Dobras- yang mengetahuinya, menyuruh menggali kuburan itu dan mayat Raden Dobras dikeluarkan untuk kemudian dimakamkan di tempat lain.

Versi lain menyatakan bahwa konon suatu malam Putera Mahkota - diperkirakan terjadi awal tahun 1672, sebelum meletusnya Gunung Merapi, 4 Agustus 1672 - bersama beberapa orang kawannya, di antaranya Raden du Bras (mirip dengan Raden Dobras) mengunjungi isteri Pangeran Singasari sejak pukul 12 malam sampai 3 pagi. Tentunya di luar pengetahuan Pangeran Singasari karena saat itu Pangeran Singasari sedang bersembahyang di masjid di luar kediamannya.

Ketika Pangeran Singasari pulang ke rumahnya, semua tamu yang tidak diundang itu melarikan diri kecuali Raden du Bras. Karena tidak sempat kabur maka ia ditangkap oleh Pangeran Singasari dan pengawalnya. Raden du Bras, yang tidak mau mengkhianati Putera Mahkota, tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Karena marah, Pangeran Singasari menikamnya dengan keris. Jenazahnya diam-diam dikuburkan di belakang rumah. Peristiwa tersebut tidak membuat geger karena Pangeran Singasari memang sengaja tidak memukul tanda bahaya sebagaimana kebiasaan yang berlaku saat itu.

Perkara yang kemudian juga diketahui oleh Raja Amangkurat I lalu disidangkan di hadapan raja tersebut. Putera mahkota menuduh adiknya, Pangeran Singasari, mengundang seseorang makan di rumahnya tetapi yang diundang tersebut tidak pulang kembali alias hilang. Pangeran Singasari menyangkal dengan menyatakan bahwa saat pulang malam dari masjid ia menjumpai seorang pencuri lalu dibunuhnya tanpa mengenal asal-muasal orang itu, walaupun orang-orang datang membawa obor.

Saat sidang itu, Sunan Amangkurat I bertanya kepada para abdi Pangeran Singasari apakah pada malam itu di kediaman Pangeran Singasari terjadi keributan. Mereka menjawab tidak mendengar apa-apa.

Berdasarkan informasi itu, Raja menyatakan bahwa putera mahkota tidak bersalah. Jika memang benar-benar terjadi peristiwa, para abdi itu tentunya akan membunyikan tanda bahaya.

Setelah keputusan itu, melalui selir seorang mantri yang paling terkemuka, Raja memerintahkan untuk membunuh 34 orang abdi Pangeran Singasari. Keputusan tersebut menimbulkan keheranan banyak pihak.

Waktu terus berjalan. Berbagai peristiwa yang menyebabkan kekacauan di mana-mana terjadi di Mataram dan puncaknya, Keraton Mataram diduduki dan dijarah oleh pemberontak Trunojoyo sehingga Amangkurat I melarikan diri dan wafat tahun 1677 di Tegal. Amangkurat II yang menggantikannya ikut mengungsi dan setelah Belanda ikut campur membantunya, tahta dikuasainya kembali.

Kelak setelah berpisah bertahun-tahun itu, pada tahun 1679 Ratu Blitar bertemu kembali dengan Amangkurat II. Suaminya, Pangeran Singasari, telah mangkat tahun 1678. Konon, gara-gara perempuan itulah, Speelman, komandan Belanda, kerepotan mengawal Amangkurat II yang hendak menegakkan kembali kekuasaan Mataram setelah diserbu oleh Trunajaya.

Pelajaran yang dapat ditarik dari peristiwa ini antara lain adalah :

· Amangkurat II ternyata mewarisi ‘kenakalan’ ayahnya sehingga ia rela menyusahkan adiknya sendiri dengan cara menggauli isterinya.

· Mungkin Ratu Blitar memang menyenangi atau terpaksa menyenangi Amangkurat II sehingga ia kawin dengan Amangkurat II setelah suaminya meninggal.

Referensi

· De Graaf, H.J., 1987. Awal Kebangkitan Mataram, Grafiti Press, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar