Minggu, 10 Juli 2011

Ratu Kalinyamat

Tapa Bugil Yang Berhasil

Kota Kalinyamat terletak 18 km dari Jepara ke arah Kudus. Dahulunya, Kalinyamat ini merupakan pusat pemerintahan Jepara (Jung Mara)[1]. Kota Jepara dan Kalinyamat memang sulit dipisahkan bilamana kita menceritakan sejarah Jepara dan Ratu Kalinyamat.

Jepara, pada awalnya menurut cerita, adalah tempat kedudukan Raja Sandang Garba (raja pedagang), anak kedua Suwela Cala (raja Medang Kamulan). Sendang Garba ini dikalahkan oleh Dandang Gendis (adik bungsunya) yang memerintah Kuripan (Kahuripan) dan Jenggala dengan bantuan orang Cina. Sandang Garba dimakamkan di Tayu sedangkan rakyatnya dipindahkan ke Tuban di bawah perintah Tisna Yuda (asal Blora) [2].

Salah satu catatan sejarah tentang Jepara ditulis Tome Pires dalam bukunya yang sangat terkenal berjudul Suma Oriental. Buku tersebut berisi kisah perjalanannya di pantai utara pulau Jawa antara bulan November 1513 sampai Januari 1515. Dalam catatan tersebut disebutkan bahwa pada tahun 1470 Jepara merupakan kota pantai yang baru dihuni oleh 90 - 100 orang serta dipimpin oleh Aryo Timur. Dengan ketekunan dan keuletan, Aryo timur berhasil mengembangkan kota pantai kecil, yang dikelilingi benteng berupa kayu dan bambu ini, menjadi sebuah bandar yang cukup besar. Bahkan ia juga berhasil memperluas kekuasaannya sampai ke Bengkulu dan Tanjung Pura, sekalipun Jepara masih berada di bawah kekuasaan Demak[3] [4].

Pada th 1507, Aryo Timur digantikan oleh puteranya yang bernama Pati Unus yang pada waktu itu masih berusia 17 tahun. Sebagai penguasa yang masih relatif muda, Pati Unus dikenal sangat dinamis. Ia bukan saja berhasil mengembangkan armada perang, tetapi ia juga mampu meneruskan perjuangan ayahnya di bidang ekonomi sehingga Jepara menjadi sebuah bandar perdagangan. Jepara menjadi salah satu pusat perdagangan di pesisir utara pulau Jawa[5].

Belum genap 5 tahun memimpin Jepara, Pati Unus telah menggabungkan armada perangnya dengan armada perang dari Palembang, untuk menyerang kolonialisme Portugis yang bercokol di Malaka. Armada Pati Unus yang terdiri dari 100 buah kapal - yang paling kecil beratnya 200 ton ini sampai di Malaka tanggal 1 Januari 1513. Sayangnya, penyerangan ini gagal. Dari 100 buah perahu yang dikirim ke Malaka, hanya 8 buah yang dapat kembali ke Jepara. Kegagalan ini menurut penulis Portugis Joan De Baros dalam bukunya "Kronik Raja D Manoel, Pati Unus" membuat Pati Unus sangat berduka dan kecewa, sehingga ia memerintahkan kapal terbesar yang dapat kembali ke Jepara, untuk diabadikan sebagai monumen perang di pantai Jepara[6].

Pati Unus kemudian digantikan oleh ipar Falatehan (yang menurut versi ini namanya tidak diketahui). Ia berkuasa dari tahun 1521 hingga tahun 1536 (mungkin yang benar tahun 1546). Dalam pemerintahannya, Jepara ikut membantu Falatehan dalam merebut Banten dan Sunda Kelapa, termasuk mengusir bangsa Portugis dari Sunda Kelapa pada tahun 1527 [7].

Alkisah sepeninggal raja kedua Demak, Adipati Unus (Pangeran Yunus Abdul Kadir / Sabrang Lor) pada tahun 1521, Trenggana menggantikannya. Sesungguhnya menurut urutan, yang berhak sebagai penggantinya adalah Pangeran Suriawiata, kakak Trenggana dan adik Adipati Unus. Namun pangeran tersebut dibunuh oleh Prawoto, anak Trenggana[8]. Diperkirakan pembunuhan tersebut terjadi sebelum atau paling lambat tahun 1521. Pangeran yang terbunuh itu kemudian dikenal dengan gelar Pangeran Sekar Seda Lepen.

Trenggana kemudian menjadi Raja Demak. Kiprahnya selama sekitar 25 tahun sebagai penguasa waktu itu terutama berfokus pada penyatuan pulau Jawa. Ia mengirim pasukan ke berbagai tempat untuk menaklukan wilayah-wilayah bekas wilayah Majapahit yang berdiri sendiri-sendiri sejak kekuatan Kerajaan Majapahit melemah[9].

Trenggana terbunuh di Panarukan tahun 1546, saat bersama balatentaranya berperang melawan wilayah timur Jawa[10]. Tidak lama setelah itu, Prawoto (anak Trenggana) dibunuh oleh Arya Penangsang (anak Pangeran Sekar Seda Lepen). Demikian pula, Pangeran Hadiri – ipar Prawoto dan suami Retno Kencana – juga dibunuh oleh Arya Penangsang, yang juga murid Sunan Kudus.

Kematian Pangeran Hadiri menyebabkan isterinya, Retno Kencana, merasa terpukul. Ia bersumpah akan bertapa telanjang di bukit Danaraja sampai Aryo Penangsang tewas.

Sementara itu setelah Prawoto tewas, terjadi perebutan tahta di Demak namun akhirnya Mas Karebet/ Jaka Tingkir (menantu Trenggono yang isterinya adalah adik Retno Kencana) yang berhasil memegang kendali setelah pasukannya berhasil menaklukkan Aryo Penangsang. Sejak itulah Retno Kencana mau bebusana lagi. Dalam peristiwa itu yang berhasil membunuh Aryo Penangsang adalah Sutawijaya – anak Kiai Gede Pemanahan- yang juga diangkat anak oleh Mas Karebet. Disebutkan dalam cerita bahwa Sutawijaya membunuh Aryo Penangsang dengan menggunakan senjata Kyai Plered.

Setelah Aryo Penangsang tewas, Retno Kencana turun dari pertapaannya dan dilantik sebagai penguasa Jepara dengan gelar Ratu kalinyamat. Penobatan ini berlangsung dengan Suryo Sengkolo Trus Karya Tataning Bumi yang diduga dilakukan tanggal 12 Rabiul Awal atau tanggal 10 April 1549. Berkat kepemimpinan Ratu Kalinyamat dalam waktu singkat Jepara berkembang bukan saja sebagai bandar terbesar di pesisir utara pulau Jawa, tetapi juga memiliki armada perang yang sangat kuat. Oleh penulis Portugis, Diego De Conto, Ratu Kalinyamat digambarkan sebagai "Rainha de Jepara senhora pederose e rica" yakni Ratu Jepara, seorang wanita yang sangat berkuasa.

Armada Kerajaan Demak yang diperintah oleh Ratu Kalinyamat diberitakan pernah menyerang Malaka yang waktu itu dikuasai oleh kolonialis Portugis. Paling sedikit serangan itu dilakukan sebanyak 3 kali, yakni tahun 1551, 1574 dan 1575 M.

Disebutkan dalam sejarah bahwa pada tahun 1551 armada dari Jepara (Ratu Kalinyamat) bertempur melawan Portugis di Malaka[11]. Pada tanggal 11 Juni 1551, armada dari Jepara – yang bergabung dengan armada dari Kerajaan Melayu, Kerajaan Perak (Sultan Muzaffar Syah) dan Kerajaan Pahang- dengan sekitar 200 kapal beserta 5000 laskar mendarat dan menyerang kota Malaka dan sekitarnya.

Saat menyerbu benteng Portugis A Famosa yang tangguh, 800 orang laskar yang menyerbu tewas karena dihujani balok-balok, batu-batu dan granat-granat sehingga strategi diubah menjadi mengepung benteng. Namun karena ada desas-desus bahwa akan tiba armada Portugis yang kuat maka Sultan Alaudin Riayat Syah II dari Kerajaan Melayu menghentikan peperangan dan pengepungan yang sudah berlangsung tiga bulan dan semua pasukan Kerajaan Melayu ditarik[12].

Selanjutnya pada tahun 1574, armada Jepara membantu Kerajaan Aceh dan Johor menyerang Portugis di Malaka[13]. Serangan tersebut gagal walaupun telah mengadakan pengepungan selama 3 bulan. Armada Jepara dipimpin oleh Ki Demang Laksamana [14].

Pada tahun 1575 kembali lagi armada Japara dari Jawa menyerbu Malaka. Serangan tersebut dapat dihalau karena ada bantuan dari Goa [15]. Tahun 1570 sampai dengan tahun 1575 memang merupakan masa-masa kritis Malaka karena menghadapi berbagai serbuan.

Ratu Kalinyamat yang berkuasa selama 30 tahun lebih ini, berhasil membawa Jepara ke puncak kejayaan. Selain sempat menjalin persahabatan dengan Hitu (Ambon) dalam rangka melawan Portugis [16], Ratu Kalinyamat juga berhasil mengembangkan Jepara menjadi bandar perdagangan terbesar di pesisir utara pulau Jawa.

Pada era tersebut, seni ukir mulai berkembang di Jepara. Salah satu bukti yang dapat dilihat adalah adanya ornamen di Masjid Mantingan, di mana Pangeran Hadiri dimakamkan, panil-panil dindingnya dihiasi dengan relief-relief berbentuk garis kurawal. Sedangkan motif hiasan yang dipilih dan terukir di sana berupa tumbuh-tumbuhan, bunga teratai dan hewan, gunung-gunungan, pertamanan dan ornamen kelelawar.

Kemungkinan pada tahun 1579 Ratu Kalinyamat meninggal. Ratu Kalinyamat dimakamkan di Mantingan / Pamantingan (dekat Jepara), dekat makam suaminya. Pamantingan ini dipercaya sebagai tempat suci [17]

Dikabarkan bahwa Ratu Kalinyamat tidak mempunyai anak. Karena itu kemenakannya, yang dijadikan anak angkat, bernama Pangeran Jepara (anak Sultan Hasanudin dari Banten), menggantikannya sebagai penguasa Jepara [18]. Pangeran, yang diberitakan pernah berusaha menduduki tahta Banten dan berhasil menduduki Bawean[19] ini, berkuasa sampai tahun 1599. Kekuasaannya berakhir karena pasukan Panembahan Senopati dari Mataram datang menyerbu. Jepara diduduki dan kota Kalinyamat dihancurkan. Tidak ada kabar mengenai nasib keluarga penguasa / orang penting Jepara waktu itu. Sejak saat itu pula Jepara dipimpin oleh pejabat setingkat bupati yang ditunjuk oleh Mataram.

Setelah kerajaan Jepara runtuh, terjadi kekosongan penguasa. Baru pada tahun 1616 Jepara dipimpin oleh Kyai Demang Laksamana yang kemudian digantikan berturut turut oleh Kyai Wirasetia, Kyai Patra Manggala, Ngabehi Martanata, Ngabehi Wangsadipa, Kyai Reksa Manggala, Kyai Wiradika, Ngabehi Wangsadipa (jabatan kedua), Ngabehi Wiradikara, Wira Atmaka, Kyai Ngabehi Wangsadipa, Tumenggung Martapura, Tumengung Sujanapura, Adipati Citro Sumo I, Citro Sumo II dan Adipati Citro Sumo III. Penguasa yang terakhir ini adalah penguasa Mataram yang terakhir sebab setelah itu Jepara menjadi wilayah Belanda. Namun pada masa transisi, Belanda masih tetap memakai Adipati Citro Sumo III. Ia kemudian digantikan oleh Citro Sumo IV, Citro Sumo V, dan Adipati Citro Sumo VI. [20] [21]

Pelajaran yang dapat dipetik mengenai sejarah dan kisah Ratu Kalinyamat ini antara lain adalah :

· Karena demikian kecewa suaminya dibunuh, Ratu Kalinyamat bertapa bugil (yang tidak biasa bagi umat Muslim wanita). Semata-mata karena dendam yang mungkin sudah demikian memuncak dalam dirinya. Beruntung bahwa ada yang kemudian membunuh pembunuh suaminya sehingga Ratu Kalinyamat menghentikan tapanya yang “tidak normal” itu.

· Pengalaman mempunyai kemampuan di laut masih ada di zamannya, walaupun mungkin tidak sehebat zaman Gajah Mada mempersatukan Nusantara. Dengan kemampuan itu, akses Jepara ke berbagai wilayah Nusantara masih ada (antara lain ke Ambon). Setelah Ratu Kalinyamat tiada, boleh dikatakan kemashuran para penguasa Jawa di laut mulai hilang.

Sumber :

· Tim Penulisan Sejarah, 1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat Jilid Ketiga, Proyek Penerbitan sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi DT I Jawa Barat.

· www jepara go id, 2003. Sejarah Jepara.

· HJ De Graaf dan TH G TH Pigeaud; 1989. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafitipers, Jakarta

· Tugiyono, Soegiono dan Tri Widiarto, 1995. IPS Sejarah Untuk SLTP Kelas II Cawu I GBPPP Kurikulum 1994. CV Baru, Jakarta

· Muchtar Lutfi, Suwardi, Anwar Syair dan Umar Amin, 1996. Sejarah Riau. Biro Bina Sosial Setwilda Tingkat I Riau.

· DGE Hall, 1988. Sejarah Asia Tenggara.. Usaha Nasional, Surabaya.



[1] HJ De Graaf dan TH G TH Pigeaud, 1989.

[2] HJ De Graaf dan TH G TH Pigeaud, 1989

[3] www jepara go id, 2003

[4] Menurut cerita lain, yang mendirikan kota Jepara adalah seorang Cina (Wintang). Orang ini terdampar dalam keadaan miskin di suatu tempat yang nantinya dinamakan Jepara. Di tempat itu ia diislamkan oleh Sunan Kudus. Jepara menjadi maju berkat kegiatan-kegiatan yang dilakukannnya. Orang ini lalu memperisteri puteri Trenggana yang bergelar Ratu Aria Jepara / Ratu Pajajaran (mungkin Ratu Kalinyamat). Dikatakan bahwa Sunan Prawata adalah saudara Ratu Kalinyamat (HJ De Graaf dan TH G TH Pigeaud; 1989). Kalau benar demikian, maka Ratu Kalinyamat adalah anak dari Sultan Trenggana (Sultan Demak periode 1521-1546) dan isteri dari Pangeran Hadiri (yang dikatakan sebagai orang Cina yang terdampar tersebut).

[5] www. jepara.go.id., 2003

[6] www. jepara.go.id., 2003

[7] www. jepara.go.id., 2003

[8] Sultan Trenggana mempunyai anak, antara lain Sunan Prawoto (meninggal sekitar yahun 1549), Ratu kalinyamat, Panembahan Timur / Panembahan Emas ing Madiun dan puteri yang diperisteri Mas Karebet / Jaka Tingkir / Adiwijaya (HJ De Graaf dan TH G TH Pigeaud; 1989)

[9] Sultan Trenggana pada tahun 1536 mengangkat Pangeran Hadiri, menantunya, sebagai penguasa Jepara (HJ De Graaf dan TH G TH Pigeaud; 1989).

[10] Pada tahun 1546, sesaat setelah terjadi perang saudara di Demak akibat tewasnya Trenggana, para penguasa pernah berkumpul di Jepara untuk merundingkan siapa yang menjadi penggantinya (HJ De Graaf dan TH G TH Pigeaud; 1989)

[11] HJ De Graaf dan TH G TH Pigeaud; 1989 dan Tugiyono, Soegiono dan Tri Widiarto, 1995

[12] Ide penyerangan bulan Juni 1551 berasal dari Laksamana Hang Nadim setelah mempelajari keberhasilan siasat Aceh. Hang Nadim berhasil mengajak Sultan Alauddin Riayat Syah II untuk merebut Malaka. Demikian pula raja-raja lainnya juga berhasil diajak bergabung. Sebelumnya, yaitu pada tahun 1547, Aceh menyerbu Malaka namun gagal (Muchtar Lutfi, Suwardi, Anwar Syair dan Umar Amin, 1996)

[13] Tugiyono, Soegiono dan Tri Widiarto, 1995.

[14] HJ De Graaf dan TH G TH Pigeaud; 1989.

[15] DGE Hall, 1988

[16] HJ De Graaf dan TH G TH Pigeaud; 1989

[17] HJ De Graaf dan TH G TH Pigeaud; 1989

[18] Sunan Gunung Jati – ayah Sultan Hasanudin dari Banten - adalah paman Ratu Kalinyamat (karena saudara perempuan Trenggana diperisteri oleh Sunan tersebut) (HJ De Graaf & TH G TH Pigeaud; 1989)

[19] Atas desakan Ratu Kalinyamat, Pangeran Aria Japara (putera Maulana Hasanudin, yang sejak kecil diasuh oleh bibinya Ratu Kalinyamat) disertai Ki Demang Laksamana datang ke Banten tahun 1580 untuk menuntut hak atas tahta Banten. Semula Mangkubumi Jayanagara dan para pejabat Banten lainnya menyetujui tuntutan itu. Namun melihat bahwa Penghulu Negara (Hakim) melindungi Maulana Muhammad, maka Mangkubumi Jayanagara dan pejabat lainnya berbalik arah menentang PA Japara. Terjadilah pertempuran. Ki Demang Laksamana tewas dan Pangeran Aria Japara kembali ke Jepara. Dikabarkan pula bahwa sewaktu Jepara diperintah Pangeran Aria Japara, pasukan Jepara menduduki Pulau Bawean pada tahun 1593 (HJ De Graaf dan TH G TH Pigeaud; 1989 dan Tim Penulisan Sejarah, 1984)

[20] HJ De Graaf dan TH G TH Pigeaud; 1989.

[21] Setelah Adipati Citro Sumo VI turun, Jepara dipimpin oleh Tumenggung Cendol. Namun kepemimpinannya tidak berlangsung lama, karena setelah Adipati Citro Sumo VI kembali dari Tuban pada tahun 1828, ia mendapatkan kepercayaan kembali untuk menjadi Bupati Jepara. Ia kemudian digantikan oleh Adipati Citro Sumo VII. Pada tanggal 22 Desember 1857 ia digantikan oleh iparnya yang bernama Raden Tumenggung Citro Wikromo yang kemudian berturut turut digantikan oleh KRMAA Sosroningrat, RMAA Koesoema Oetoyo dan Soekahar. Pada awal kekuasaan Jepang Bupati Jepara dipercayakan kepada RAA Soemitro Oetoyo yang terus menjabat hingga Desember 1949 (www jepara go id, 2003)

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Bangga jd perempuan Jepara :)

Unknown mengatakan...

Maksudnya bangga untuk yang mana mbak

Unknown mengatakan...

kebanggaan itu harus didasari oleh sikap dan tindakan pelestarian untuk pengukuhan sesepuh kita yang ada dijepara perlunya untuk peringatan-peringatan pahlawan jepara agar supaya tidak kandas diterpa oleh adt istadat barat yang tidak tau tawandu' bangsa ..

Unknown mengatakan...

Wowww setujuuuuuuuu

Posting Komentar