Minggu, 10 Juli 2011

Ratu Malang

Yang Dikatakan Membuat Malang

Pengganti Sultan Agung pada tahun 1645 M adalah anaknya, yang bergelar Sunan Amangkurat (I) dan memerintah sampai tahun 1677. Pada saat Amangkurat I, yang lahir tahun 1619, tersebut berkuasa, ada suatu peristiwa yang sangat tragis. Isterinya, yang bergelar Ratu Malang, meninggal (diperkirakan sekitar tahun 1665-1667) dan dimakamkan di Antakapura, Redi, Kelir (daerah Pajang Sala). Bukan saat meninggalnya yang disebut tragis namun ketragisan itu terjadi justru setelahnya. Akibat meninggalnya Ratu Malang ini, puluhan wanita dan lelaki di ibukota Mataram dan sekitarnya meninggal dibunuh atau terbunuh. Mengapa ?

Seperti diketahui dalam persoalan wanita, Amangkurat I memang dikenal “luar biasa”. Sewaktu masih menjadi putera mahkota, Amangkurat I dikabarkan pernah menculik wanita tercantik di antara isteri-isteri Tumenggung Wiraguna (salah satu pejabat tinggi Mataram sewaktu ayah Amangkurat I, Sultan Agung, masih berkuasa). Karena perbuatannya tersebut, Amangkurat I dihukum oleh ayahnya sementara wanita cantik tersebut dibunuh oleh Wiraguna.

Saat sudah menjadi raja sebelum memperisteri Ratu Malang, Amangkurat I telah mempunyai banyak isteri. Jumlahnya diperkirakan paling sedikit 43 orang. Di luar isteri-isteri tersebut, Amangkurat I mempunyai isteri yang bergelar Ratu Ageng/ Ratu Kulon / Ratu Pangayun. Ia adalah puteri Pangeran Pekik dari Surabaya yang meninggal 40 hari setelah melahirkan RM Rahmat (Amangkurat II) dan dimakamkan di Girilaya.

Suatu saat Amangkurat I berkeinginan lagi mencari wanita cantik yang akan dijadikan selirnya. Pangeran Balitar mencalonkan seorang wanita yang disebut-sebut berasal dari daerah Pajang anak Ki Wayah (Waya), seorang dalang wayang. Wanita ini sebelumnya sudah bersuamikan Ki Dalem (Ki Dain) dan sedang mengandung 3 bulan.

Untuk memuluskan keinginannya untuk mendapatkan wanita itu, Ki Dalem lalu dibunuh. Kemudian setelah melahirkan anaknya – yang diberi nama Raden Natabrata[1] - maka wanita tersebut dibawa ke istana dan diperisteri oleh Sunan Amangkurat I. Gelar yang diberikan kepada wanita – yang mendampingi Sunan selama sekitar 17 tahun - itu adalah Ratu Wetan / Ratu Malang / Ratu Malat.

Mungkin karena cemburu atau mungkin karena takut bahwa Ratu Malang akan menurunkan anak yang akan menggantikan Amangkurat I atau karena sebab lain, dikabarkan Ratu Malang tidak disenangi oleh isteri-isteri Amangkurat I lainnya. Mungkin karena itu pula ada yang menyantet / mengguna-guna (guna-guna merupakan hal yang umum terjadi di kalangan tradisional) atau mungkin ada yang sengaja meracuninya.

Ratu Malang dikabarkan meninggal dalam keadaan muntah dan kotorannya encer. Amangkurat I – yang kelak meninggal tahun 1677 di Tegalwangi, daerah Tegal dalam pelarian karena keratonnya di Pleret dikuasai Trunajaya[2] - dikabarkan sangat murka dan karena itulah terjadi peristiwa tragis. Sekitar 43 orang selir dan dayangnya dibunuh atas perintahnya. Sunan dikabarkan sangat sedih sehingga cukup lama meninggalkan urusan kerajaan. Setiap hari Sunan Amangkurat I terlihat meratapi kematian isterinya itu di kuburannya.

Pelajaran yang dapat diambil dari kasus Ratu Malang ini antara lain adalah :

· Sebagai wanita desa, Ratu Malang, mungkin tidak menyangka bahwa suaminya dibunuh dan kemudian dia sendiri harus rela diperisteri oleh orang yang sangat berkuasa dan banyak isterinya. Dia mungkin juga tidak menyangka bahwa harus hidup di tengah madunya yang tentu saja ada atau bahkan banyak yang tidak menyukainya (sebagai suatu situasi yang alamiah)

· Betapa merananya seorang lelaki walaupun ia raja yang perkasa bilamana ditinggal oleh isterinya yang sangat dicintainya.

Sumber :

· De Graaf, H.J., 1987. Desintegrasi Mataram Di Bawah Mangkurat I, Grafiti Press, Jakarta.

· De Graaf, H.J., 1987. Awal Kebangkitan Mataram, Grafiti Press, Jakarta.

· Kartodirdjo, Sartono, 1973. Sejarah Perlawanan-perlawanan Terhadap Kolonialisme. Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI, Jakarta




[1] Pada saat Plered dikuasai Trunojoyo, Raden Natabrata mengungsi ke desa asal ibunya.

[2] Tanggal 2 Juli 1677, Keraton Plered jatuh ke tangan tentara Trunojoyo. Trunojoyo lalu membawa pusaka keraton ke Kediri. Pada saat menyerang Plered tersebut, Trunojoyo memperoleh banyak bantuan dari pengikut-pengikutnya yang berada di Mataram. Antara lain dari pengikut Pangeran Purboyo. Amangkurat I, yang lolos dari Plered, terlebih dahulu mengunjungi makam leluhurnya di Imogiri bersama Pangeran Adipati Anom. Lalu mengungsi ke arah barat. Sewaktu melewati Kali Progo, Amangkurat I yang sudah tua jatuh sakit. Perjalanan kemudian melewati Banyumas lalu ke arah utara. Saat tiba di hutan Wanayasa, Amangkurat I wafat. Jenazah terus dibawa ke arah utara dan kemudian dimakamkan di Tegal Wangi. Sebelum meninggal Amangkurat I (yang kelak dikenal dengan gelarnya Sunan Tegalwangi) mengangkat Pangeran Adipati Anom sebagai Amangkurat II. Namun bersamaan dengan itu Pangeran Puger yang berada di Bagelen mengangkat dirinya sebagai Sunan Paku Buwono I (Kartodirdjo, Sartono, 1973).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar