Sabtu, 09 Juli 2011

Sri Tanjung

Harum Semerbak Tiada Dosa

Ada sebuah legenda mengenai asal muasal nama Banyuwangi, sebuah kota yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Legenda tersebut berasal dari syair dan kidung yang kemungkinan besar dibuat pada abad 14, intinya mengisahkan cinta yang keterlaluan dari seorang laki-laki bernama Sidapaksha kepada isterinya, Sri Tanjung, yang berakibat fatal, yakni kematian perempuan tersebut.

Salah satu versi legenda menceritakan bahwa Sidapaksha, seorang bangsawan kerajaan di mana rajanya bernama Sindureja, mengawini seorang wanita yang berasal dari kasta rendah, bernama Sri Tanjung. Pernikahan yang didasarkan saling cinta sepasang manusia itu rupanya tidak bisa diterima oleh ibu Sidapaksha karena dianggap menurunkan derajat kebangsawanan keluarganya.

Untuk memutuskan hubungan itu, ibu Sidapaksha, yang masih kerabat dekat Sindureja, mencari cara yang pas. Ia meminta agar Sindureja memberi tugas berat kepada Sidapaksha. Tugas tersebut berupa mengambil sebuah bunga di Gunung Ijen. Bunga, yang sulit dicari ini, dipercaya dapat menjadikan pemiliknya tetap awet muda sepanjang hidupnya. Sidapaksha – yang isterinya sedang hamil muda ini - harus membawa bunga langka itu untuk diserahkan kepada permaisuri.

Sidapaksha sedih karena tugas ini akan menyebabkannya pergi dalam waktu lama sehingga ia tidak bisa menyaksikan kelahiran anak pertamanya. Namun demikian ia berangkat pula karena ini adalah tugas dari rajanya.

Tidak lama setelah Sidapaksha berangkat, Sri Tanjung melahirkan anak laki-laki. Ibu Sidapaksha yang kejam melihat kesempatan, yaitu menculik bayi yang masih tidak berdaya itu.

Demikianlah suatu ketika saat Sri Tanjung sedang mandi, ibu Sidapaksha menculik sang bayi lalu menghanyutkannya ke kali. Tentu saja kehilangan bayi tu sangat menyedihkan hati Sri Tanjung. Ia tidak tahu siapa yang mengambilnya. Yang diketahuinya bahwa saat ia mandi, bayi itu hilang.

Setelah beberapa bulan, Sidapaksha kembali dari tugasnya dengan hasil yang menggembirakan. Setelah melaporkan hasil pekerjaannya kepada Raja, dengan gembira Sidapaksha bergegas pulang ke rumah ingin melihat anak pertamanya yang baru lahir itu. Namun apa hendak dikata, si bayi itu telah hilang sebagaimana dituturkan oleh isterinya. Namun ibu Sidapaksha menyatakan bahwa sesungguhnya bayi tersebut tidak hilang tetapi dibunuh oleh Sri Tanjung.

Dalam kemarahannya, Sidapaksha memaksa Sri Tanjung untuk mengakui dengan ancaman akan membunuhnya. Sri Tanjung sedih sekali sebab suaminya termakan fitnah ibunya sendiri. Dalam kondisi lemah karena sakit dan putus asa karena suaminya tetap tidak percaya kepadanya, Sri Tanjung meminta agar suaminya membawanya ke pinggir sungai untuk memperoleh penjelasannya.

Sidapaksa pun setuju lalu membawa isterinya ke pinggir sungai. Saat tiba di sana, tanpa diduga Sri Tanjung menceburkan diri ke sungai. Ia pun tenggelam masuk ke dalam air. Sidapaksha sangat cemas, namun tak berapa lama muncul dua buah kembang putih dengan bau yang sangat harum. Pada saat bersamaan terdengar suara yang menjelaskan kisah yang sesungguhnya yang dialami oleh bayi dan Sri Tanjung.

Sidapaksha menyesal atas kejadian itu. Namun nasi telah menjadi bubur, yang tinggal adalah air (banyu) yang berbau harum (wangi). Dan itulah yang menurut kata orang menjadi cikal-bakal adanya kota Banyuwangi.

Sumber Bacaan :

· www eastjava com , 2004. Discovering East Java: Banyuwangi.

· www petra net id , 2004. History of Banyuwangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar